Tiga Versi Supersemar, Misteri Lebih Dari Empat Puluh Tahun
Lebih dari empat puluh tahun berlalu,
misteri Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) hingga kini belum juga
terpecahkan. Di mana naskah asli surat tersebut juga masih belum bisa
ditemukan.
Sejumlah versi proses terbitnya
Supersemar pun beredar. Entah siapa yang benar. Namun dari sejumlah
keterangan, yang tidak bisa dibantah adalah Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu.
Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi:
Versi Pertama,
yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri
dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya
tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Versi Kedua,
berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu
lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini
tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi
pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.
Versi Ketiga,
lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari
satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan
Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan
kedua.
Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia),
M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. “Sebab,
lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang
bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan
seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).
Dari segi isi, kata Asichin, beberapa
versi Supersemar tersebut relatif sama. Hanya ada perbedaan dari versi
pertama dan kedua. Surat pertama terdiri dari empat poin yakni:
I. Mengingat,
II. Menimbang,
III. Memutuskan/Memerintahkan dan
IV. Selesai.
II. Menimbang,
III. Memutuskan/Memerintahkan dan
IV. Selesai.
“Bedanya, di versi kedua tidak ada IV. Selesai,” ujar Asichin.
Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat.
Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.
Jelas keterangan ini menyudutkan
Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat. Sebab, dengan
Supersemar berkop surat MBAD menunjukkan surat perintah itu memang
diinginkan oleh Soeharto. Apalagi, muncul versi Soekarno dipaksa oleh
beberapa jenderal utusan Soeharto untuk meneken Supersemar di bawah
todongan senjata.
Jenderal M Jusuf, salah satu petinggi AD
yang menemui Soekarno di Istana Bogor, pernah mengklaim memiliki naskah
Supersemar. ANRI pernah berkali-kali meminta keterangan kepada Menteri
Perindustrian Kabinet Dwikora itu. Namun, hingga akhir hayat M Jusuf
pada 8 September 2004, upaya itu gagal.
Pada 31 Agustus 2005, ANRI pernah
memawancarai keponakan M Jusuf, Andi Heri di Makassar. “Namun pengakuan
keluarga katanya kami tidak pernah menyimpan”, ujar Asichin.
Pada 2008, pengakuan lain dibuat oleh
Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf intel Komando Operasi
Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI). Thalib mengatakan ayahnya, yang
meninggal 2002 lalu, pernah bercerita kepadanya bahwa Supersemar yang
ada selama ini adalah palsu.
“Teks itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik,” ujar Ubay saat itu.
Menurut Ubay, ayahnya sempat melihat
sekilas teks tersebut saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk
menyimpan di ruangannya. “Tapi sayangnya yang melihat teks Supersemar
itu hanya beberapa orang,” kata Ubay.
Cek Kosong Untuk Soeharto
Soekarno memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis.
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun
juga soal isinya. Tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk
mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?
Seperti diketahui, Supersemar telah
dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus
Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap
beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi
pemberitaan di media massa saat itu.
Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno
segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret
1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh
Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto.
Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa:
Pertama,
Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat
semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan
presiden.
Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.
Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.
Surat yang tidak banyak diketahui publik
ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua tahu bahwa setahun setelah
penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai
Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.
Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar seperti blanko cek kosong yang bisa diisi semaunya oleh Soeharto. Hal ini terlihat dalam frasa “mengambil tindakan yang dianggap perlu” dalam poin perintah pertama surat itu.
Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority).
Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat Soeharto, setelah melihat
surat itu menilai surat itu bernada penyerahan kekuasaan.
Menurut Asvi, seharusnya surat kepada
militer jelas batas dan jangka waktu pelaksanaannya. Poin ketiga surat
lanjutan Soekarno pada 13 Maret 1966 menunjukkan sang presiden telat
menyadari ketidakjelasan jangka waktu pelaksanaan Supersemar.
Namun keterangan Wakil Perdana Menteri I,
Soebandrio, setelah lepas dari tahanan Orde Baru, menunjukkan Sang
Pemimpin Besar Revolusi tak seceroboh itu. Menurutnya, Supersemar
terdapat frasa “setelah keadaaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.” Ketarangan Soebandrio itu dibenarkan oleh Pangkostrad Letjen Kemal Idris.
Kontroversi isi Supersemar ini akhirnya membuat persepsi bahwa Supersemar palsu sengaja dibuat mengarahkan ke transfer of authority. Sementara yang asli jelas merupakan perintah mengamankan negara atau delegation of authority. Ini pula yang diamini Roeslan Abdul Gani, salah satu menteri Soekarno saat itu.
Siapa yang mengetik Supersemar?
Kontroversi keberadaan (fisik) dan isi
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga diikuti dengan misteri
siapa yang mengetik surat sakti itu. Namun, dari sekian lama kontroversi
bergulir, baru satu orang yang mengaku mengetik surat itu. Dia adalah
Letkol (Purn) Ali Ebram.
Saat Supersemar terbit, Ebram adalah
Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Dia mengaku mengetik Supersemar
dengan didiktekan Presiden Soekarno. Ebram, yang tidak terbiasa
mengetik, mengaku gemetar saat menekan tombol-tombol mesin cetak itu.
Dalam ‘Kudeta Supersemar’
(Wisnu: 2010) diceritakan, Ebram mengaku dipanggil oleh bosnya Komandan
Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, untuk membawa mesin tik dan kertas
berkop kepresidenan ke paviliun Hartini, ruang pribadi presiden di
Istana Bogor. Ebram mengetik surat itu selama satu jam.
Menurut pengakuannya, di ruang lain, tiga
petinggi Angkatan Darat yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan
Brigjen Basuki Rahmat, sudah menunggu. Keterangan Ebram klop dengan
pengakuan Amirmachmud bahwa saat menunggu, ia melihat presiden masuk ke
kamar dalam waktu yang cukup lama.
Namun, Komandan Detasemen Kawal Pribadi
Presiden, Mangil Martowidjojo, mengatakan lain. Mangil mengatakan, sang
pengetik adalah Sabur sendiri. Dengan membawa kertas dan mesin tik, kata
Mangil, Sabur mengatakan sedang membuat surat perintah. Sabur, kata
dia, mengetik hasil koreksi Supersemar setalah Soekarno mendiskusikan
versi awal kepada tiga jenderal itu bersama dua wakil perdana menteri,
Soebandrio dan Chaerul Saleh.
Sementara itu, Soebandrio, yang mengaku
turut mengoreksi, mengaku tidak tahu siapa yang mengetik Supersemar. Dia
hanya mengetahui Supersemar diketik oleh salah satu staf di Istana
Bogor.
Sedangkan Benedict Anderson, pakar
sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, mengatakan lain. Dari pengakuan
seorang tentara di Istana Bogor, Anderson mengatakan, Supersemar asli
berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Keterangan ini secara
tidak langsung membantah Ebram sebagai pengetik Supersemar karena ia
mengaku mengetik surat itu di atas surat berkop kepresidenan.
Namun sayang, Anderson tidak mau mengungkapkan siapa tentara pemberi informasi tersebut, berikut pangkatnya.
Pistol di Dada Soekarno
Dada Soekarno malam itu mungkin tak
sebusung waktu ia mengatakan “ini dadaku mana dadamu” kepada Malaysia.
Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor, pistol FN-46 itu ditodongkan
Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa untuk
meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.
Dalam “Mereka Menodong Soekarno” Letnan
Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam
itu, mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun, Soekarno menyuruh
pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya
Saat membaca isi naskah di map merah itu,
kata dia, Soekarno sempat bertanya “Lho, diktumnya kok diktum militer,
bukan diktum kepresidenan!” Secara refleks, kata Sukardjo, ia melihat
naskah tersebut.
Kop surat, kata dia, tidak ada lambang
kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas Besar Angkatan Darat (MBAD)
di sisi kiri atas surat tersebut.
“Untuk mengubah waktunya sudah sangat
sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah,” kata Basuki Rachmat,
yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.
Surat yang kemudian dikenal dengan Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu akhirnya diteken oleh Soekarno.
Keempat jenderal utusan Soeharto itu lantas membawa surat dengan
sumringah. Setelah kejadian itu, Soekarno langsung mewanti-wanti
Sukardjo.
“Kamu harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujar Sukardjo menirukan pesan Soekarno saat itu.
Dan benar saja, tak
lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan
RPKAD untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa
peradilan selama 14 tahun. Selama ditahan, ia menerima penyiksaan,
seperti disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Meski banyak yang membantah cerita
tersebut, setidaknya itulah kesaksian dari Sukardjo, pengawal presiden,
yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul 01.00 WIB. Selain soal
pistol, kesaksian yang paling diragukan adalah kehadiran Brigjen M
Panggabean. Dari beberapa versi cerita, cuma Sukardjo yang mengatakan
kehadiran Panggabean di Istana Bogor. Jadi bukan 3 orang Jenderal, namun
4 orang Jenderal.
Namun, tak sedikit juga yang memperkuat
kesaksian Sukardjo. Mereka yang memperkuat kesaksian Sukardjo adalah R
Seoekiram, S Ponirah, Soeprapto Karto Siswoyo dan Rian Ismali.
Keempatnya merupakan purnawirawan CPM dan TNI AD.
Akibat pengakuannya yang menghebohkan
usai reformasi pecah pada 1998 itu, Sukardjo sempat menghadapi proses
hukum atas tuduhan menyebarkan berita bohong. Namun, ia berhasil lolos
dari jeratan hukum karena tuduhan itu tidak terbukti.
Kesaksian Sukardjo Wilardjito
Pintu
kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang
ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah muda
di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti
ditandatangani Sukarno.
Naskah itu tidak segera ditandatangani
Sukarno. Dia sempat bertanya tentang mengapa kop surat itu dari Markas
Besar Angkatan Darat. Seharusnya Surat Perintah itu ber-kop surat
kepresidenan.
Tapi pertanyaan Sukarno hanya dijawab
Jendral Basuki Rachmat, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka
tandatangani saja”.
Kesaksian ini dituturkan Sukardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno.
Sesudah jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah
dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan,
termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa
mengaku PKI.
Melihat itu, Sukardjo sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk melindungi presiden.
Namun Sukardjo meletakkan pistolnya kembali, karena Sukarno tidak ingin melihat pertumpahan darah.
Surat yang akhirnya ditandatangani Sukarno itu dikenal kemudian dengan nama Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret.
Sukardjo juga bersaksi bahwa yang
menghadap Sukarno adalah empat jendral dan bukan tiga jendral seperti
yang disebutkan selama ini.
Keempat jendral utusan Suharto itu adalah:
- Muhammad. Yusuf
- Maraden Panggabean
- Amir Machmud dan
- Basuki Rachmat.
Biarpun ada yang masih meragukan
kesaksian Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu.
Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong
Bung Karno”.
Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean sendiri.
Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M.
Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”.
Sehingga kebenaran kesaksian Sukardjo itu masih perlu ditelusuri lagi.
Benarkah demikian?
Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno
bukan orang yang mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno
menandatangani naskah Supersemar, pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu
menggambarkan situasi yang tidak kompromistik.
Situasi yang membuat Sukarno terjepit.
Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi
di balik itu. Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau
Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret.
Sesudah menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih.
Permintaan itu tidak pernah terwujud,
karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Sukarno sedang
menandatangani kejatuhannya.
Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan “wahyu sebagai pemimpin” seakan sudah tercabut dari Sukarno.
Sebagai presiden, Sukarno sudah
menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang satu ini,
Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya sendiri.
Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada Suharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI.
Belakangan mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno.
Dengan Supersemar itu Suharto memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.
Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya!
Jangan saya dikentuti!”. Ini ekspresi
kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya,
melangkahinya dan membangkang perintahnya.
Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai
agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang
emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa
ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.
Salah satunya yang bikin Sukarno merasa
dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak?
Bung Karno merasa Supersemar diplintir!
Padahal Supersemar dimaksudkan Sukarno
untuk memberi mandat pada Suharto agar segera memulihkan keamanan
negara, bukan melengserkannya.
Kecurigaan presiden Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar, tercermin dari pidatonya.
Ketika itu Bung Karno mulai melihat
tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan”
oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya
tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.
Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority.
Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret
adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya
pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan
dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan
keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden.
Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.
Berdasarkan pidato Sukarno di atas,
timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan
hilang? Betulkah naiknya Suharto sebagai presiden adalah
inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan
karenanya Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa
dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?
Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional
disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip
karena diketik dengan spasi berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di
antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah keduanya
sama-sama tidak otentik?
Menurut kesaksian staf intel Komando
Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI) Salim Thalib, naskah Supersemar
yang dikenal sekarang adalah palsu. Selain aslinya tidak serapi itu, isi
naskah juga tidak sama dengan naskah aslinya.
Jadi betulkah tuduhan beberapa kalangan
yang menyamakan ini dengan usaha penghilangan barang bukti? Kalau memang
Supersemar tidak diplintir, apa buktinya bahwa Supersemar itu tidak
diplintir?
Sebetulnya kenapa Supersemar itu mesti
dirancang dan Sukarno mesti dipaksa menandatangani? Ada banyak teori
konspirasi rumit tentang ini. Tapi saya tertarik dengan teori berikut
ini.
Persaingan PKI dan Angkatan Darat
Latar belakangnya tak lepas dari
persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Sebelum terjadinya G30S,
persaingan antara PKI dan Angkatan Darat sudah dalam taraf saling jegal
menjegal. Bahkan PKI sampai ingin membangun “Angkatan Kelima” dalam
militer.
PKI ingin menggeser Angkatan Darat. Dan
Angkatan Darat ingin menggeser PKI. Apalagi ketika itu Sukarno sudah
mulai sakit-sakitan. Mungkin usianya tidak lama lagi. Pokoknya siapa
cepat, dia dapat. Antara PKI dan Angkatan Darat sudah betul-betul
sikut-sikutan.
Begitu meletus konspirasi G-30S, inilah
kesempatan Angkatan Darat untuk menghancurkan saingan beratnya itu. Tak
ada ampun, pokoknya PKI harus musnah. Dan penghancuran itu akan lebih
afdol jika presiden sendiri yang mengumumkan pembubaran PKI. Soalnya
yang punya hak untuk membubarkan partai politik cuma presiden. Itu
adalah hak prerogatif presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Sukarno kok
belum mau juga membubarkan PKI. Bagaimana ini?
Angkatan Darat melalui tangan Suharto pun
mengambil jalan pintas. Potong kompas. Caranya, harus dibuat sebuah
surat perintah yang telah terkonsep, yang membuat Angkatan Darat jadi
punya alasan yuridis melibas PKI. Konsep surat itu pun dibuat. Konsep
Supersemar. Isinya perintah presiden kepada Angkatan Darat (Suharto)
untuk mengamankan negara.
Nah, dengan dalih mengamankan negara
inilah Angkatan Darat jadi punya alasan mengganyang habis PKI. Angkatan
Darat memang berlomba dengan waktu. Harus bergerak cepat. Kalau tidak,
PKI bisa kembali bangkit mengumpulkan kekuatan dan mendepak jauh-jauh
Angkatan Darat dari panggung kekuasaan. Now or never! Jadi sekarang Angkatan Darat tidak boleh kalah cepat!
Setelah itu Suharto memerintahkan para
Jendral tadi untuk membawa surat itu kepada Sukarno. Dengan pesan
khusus, “pokoknya harus ditandatangani Sukarno”.
Begitu Supersemar ditandatangani, itulah
awal aksi pedang Orba. Nampaknya tanda tangan Sukarno tadi adalah
pembuka jalan bagi pelaksana Supersemar untuk mengamankan yang bisa
diamankan. Sesudah itu terjadi tragedi mengenaskan.
Di segala pelosok negeri berkubang darah
jutaan rakyat dengan alasan pembasmian PKI demi keamanan negara.
Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang tiba-tiba
di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak bermasa
depan dan terampas haknya karena dicap PKI.
Tak kurang Sukarno sendiri turut menjadi korban. Sukarno mengatakan dia mengutuk sekeras-kerasnya Gestok
(G30S PKI). Pelakunya harus dihukum, kalau perlu ditembak mati. Tapi
orang yang memperuncing peristiwa G30S PKI, hingga terjadi provokasi
membenarkan pembunuhan jutaan rakyat juga harus diadili. Apakah Sukarno
bermaksud menujukan ini pada Suharto?
Yang jelas, sesudah pernyataan Sukarno
itu, terjadi de-Sukarnoisasi. Kita tahu bagaimana Sukarno diisolasi,
dituduh terlibat G-30 S PKI tanpa bukti yuridis.
Tentu saja tuduhan itu aneh. Karena
bagaimana mungkin Sukarno dituduh melakukan kudeta terhadap dirinya
sendiri? Buntutnya, semua yang berhubungan dengan Sukarno menjadi tabu
dibicarakan di masa Orba. Bahkan beberapa departemen men-non-aktif-kan
pegawai yang ketahuan pro-Sukarno.
Suharto dan Amerika
Setelah skenario berjalan seperti
harapan, “para perancang” Supersemar lalu mabuk kemenangan. PKI yang
dulu jadi saingan utamanya untuk merebut “kursi Sukarno” sudah
tersungkur. Dan Sukarno sang pemilik kursi juga sudah dipaksa
meninggalkan kursinya. Suharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Kursi yang
kosong tanpa pemilik itu harus diapakan lagi kalau bukan diduduki?
Dan ketika kursi Sukarno tadi diduduki
Suharto, di situlah awal mula kasak kusuk politik tentang “penyelewengan
Supersemar”. Apakah betul tuduhan bahwa ada permainan sistematis
Amerika di balik semua ini?
Yang jelas, dengan diselewengkannya
maksud Supersemar, yang paling berbahagia adalah Amerika. Karena itu
berarti jatuhnya Sukarno. Akhirnya mimpi Amerika terkabul sudah.
Terang-terangan Amerika menyatakan jatuhnya Sukarno sebagai kemenangan
Amerika. Presiden Richard Nixon menggambarkan kemenangan itu sebagai,
“Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”.
Sudah jelas.
Karena hadiah sesungguhnya terletak pada kekayaan alam Indonesia yang
menanti untuk dikuras. Dan batu penghalang yang menghalang-halangi
Amerika menguras alam Indonesia, yaitu Sukarno, sudah dibikin
terjungkal. Inilah awal kemenangan Amerika yang sejak 10 tahun
sebelumnya ingin menggulingkan Sukarno.
Bung Karno berhasil mengusir penjajahan
Belanda. Tapi setelah itu Bung Karno ambruk oleh Amerika. Mungkin karena
cara Amerika lebih cerdik. Soalnya Amerika tidak memegang gagang keris
secara langsung untuk menikam Sukarno. Keris itu diserahkannya kepada
rakyat Sukarno sendiri, yang menghujamkannya langsung ke presidennya
sendiri, di antaranya melalui provokasi perebutan kekuasaan dan akhirnya
menunggangi G-30S.
Pasca G30S, rakyat menjadi sangat takut
dengan yang kekiri-kirian. Ini artinya Indonesia meninggalkan Rusia dan
berpaling ke Amerika.
Dan setelah Supersemar
dijadikan surat sakti untuk memberantas sisa-sisa G-30S, lalu pemegang
Supersemar diangkat menjadi presiden, Indonesia berubah haluan 180
derajat. Hampir semua jabatan vital dipegang oleh perwira Angkatan
darat. Sehingga rakyat berbisik takut-takut dan bertanya siapa
sebetulnya yang meng-kup Sukarno?
Di bawah pemerintahan yang hampir
semuanya orang militer, rakyat Indonesia jadi takut dan kapok dengan
yang segala yang berbau kiri. Semua orang tiba-tiba saja beragama.
Banyak orang tiba-tiba rajin ke mesjid dan ke gereja. Soalnya takut
dituduh PKI. Sehingga kiblat Indonesia berganti ke Amerika, tidak lagi
ke Blok Timur.
Rusia yang tadinya sahabat Indonesia
sekarang menyingkir. Amerika jingkrak-jingkrak! Soalnya mimpi mereka
untuk menancapkan kuku di Indonesia akhirnya terwujud. Indonesia yang di
bawah tanahnya banyak emas dan minyak itu akhirnya jatuh ke pelukan
Amerika. Apa buktinya?
Kepentingan Amerika
cuma satu. Pokoknya modal Amerika mesti masuk ke Indonesia. Hasilnya?
Begitu pemegang Supersemar diangkat menjadi Presiden menggantikan
Sukarno, maka produk undang-undang pertama yang digodok adalah RUU
Penanaman Modal Asing Tahun 1967.
Setelah lahir UU Penanaman Modal Asing,
sebut saja sumber daya alam mana di Indonesia yang sampai sekarang tidak
dikuasai Amerika? Sukarno telah ditumbangkan oleh Amerika. Dan
bagaimana pemangku Supersemar akhirnya lengser?
Ketika ayam jago yang
dielus-elus tuannya tidak lagi berguna, maka ayam itu “di-kuali-kan”
menjadi ayam sayur. Semua itu berawal ketika “kapitalisme Cendana”
ternyata semakin me-raksasa nyaris mendesak kepentingan kapitalisme
Amerika. Maka pemangku Supersemar pun akhirnya terdepak pula.
Di mana letak perbedaan kejatuhan Sukarno
dan Suharto? Sukarno memang dijatuhkan sesudah menandatangani
Supersemar, tapi tak pernah jatuh ke pelukan Amerika. Sedangkan Suharto
sudah jatuh sejak awal. Bahkan ketika dia baru saja mengirim utusannya
untuk memaksa Sukarno menandatangani Supersemar, di saat itu Suharto
telah jatuh ke pelukan Amerika.
Tidak ada kekuasaan yang abadi. Setiap
saat kekuasaan bisa saja jatuh. Tapi ada satu hal yang tidak otomatis
jatuh bersama kekuasaan. Yaitu kehormatan. (Walentina Waluyanti – Nederland, 4 Maret 2010)
Amerika sebut Supersemar Sebagai Kudeta
Tuduhan bahwa Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar) adalah puncak dari kudeta merangkak yang dilakukan
Soeharto, semakin jelas dengan adanya dokumen Central Intelligence Agency (CIA). Telegram rahasia dari Kedubes AS di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri AS, sehari pasca-Supersemar, menyatakan: Indonesia baru saja melancarkan sebuah kudeta militer (military coup).
Dalam “Membongkar Supersemar”, Sejarawan
Baskara T. Wardaya melampirkan telegram rahasia yang ia dapatkan itu. AS
tidak hanya menyebut Supersemar sebagai kudeta. Tapi melihat caranya
yang merangkak, negara adidaya itu menyebut Supersemar sebagai “kudeta militer yang khas negeri tersebut”.
Isi telegraph rahasia itu adalah:
“Setelah lama ditunggu-tunggu kini Soekarno telah mempertaruhkan
nasibnya terlalu jauh. Rencana dia untuk menyingkirkan jajaran
kepemimpinan militer dan memasukkan seseorang yang dikenal sebagai pro-komunis sebagai Menteri Pertahanan telah mendorong militer untuk memotong kekuasaannya.”
Menteri yang dimaksud AS sebagai pro-komunis
adalah Mayjen Sarbini. Dia ditunjuk oleh Presiden Soekarno menggantikan
AH Nasution, yang dikenal dekat dengan AS. Saat Supersemar terjadi
Nasution tidak menjabat apa-apa lagi. Dia lebih banyak menunggu di rumah
sambil melihat dinamika politik yang terjadi.
Dukungan AS untuk penggulingan Soekarno
semakin jelas dengan adanya memorandum dari Deputi Asisten Khusus Bidang
Keamanan Nasional AS, Robert Komer, kepada Presiden Lyndon Jhonson.
Dalam memo itu, Komer menyebut Supersemar sebagai “kudeta yang sukses”.
Memo yang dikirim sehari setelah Supersemar:
“Mendukung sukses. Tidak sulit untuk menyadari betapa pentingnya
kemenangan AD atas Soekarno (meskipun Soekarno tetap dihormati sebagai
simbol negara). Indonesia memiliki jumlah penduduk – dan jumlah sumber
alam – melebihi yang ada di seluruh Asia Tenggara. Selama ini
Indonesia telah siap menjadi negara komunis yang ekspansionis, yang siap
mengancam bagian belakang posisi Barat di Asia Tenggara.”
Dalam “Peristiwa G 30 S yang Saya Alami”,
Soebandrio mengatakan, sangat jelas AS takut Indonesia dikuasai
komunis. Wakil Perdana Menteri I di kabinet Dwi Kora itu mengatakan ada
dua proyek AS di Indonesia. “Hancurkan PKI dan gulingkan Soekarno,”
cetusnya.
Soebandrio dan sejumlah menteri yang
berhaluan kiri memang banyak duduk di kabinet saat itu. Apalagi hubungan
AS dan Soekarno terus memburuk pasca-pernyataan keras Soekarno tentang
penghentian batuan negara adidaya ke Indonesia. “to hell with your aid,” cetus Soekarno saat itu.
Setelah Supersemar terbit, PKI mulai
diberangus, Soebandrio dan 14 menteri kabinet Dwi Kora yang loyal dengan
Bung Karno dan berhaluan kiri, ditangkap dan ditahan. Soebandrio
divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.
“Dari posisi orang nomor dua di republik
ini, mendadak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati,” ratap
Soebandrio di penjara Cimahi. Namun, Soebandrio akhirnya lolos dari
jerat maut berkat surat Presiden AS Lyndon Jhonson dan Ratu Inggris
Elizabeth kepada Soeharto.
“Soebandrio jangan ditembak, saya tahu
dia tidak terlibat dalam G 30S”, demikian surat yang akhirnya membuat
Soebandrio tetap hidup dan menulis kesaksiannya setelah reformasi
meletus.
Arsip Nasional Terus Mencari Supersemar Asli
Kepala ANRI M Asichin meyakini Supersemar
asli itu benar-benar ada. Naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) entah di mana kini berada. Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) mengaku hanya menyimpan versi palsu Supersemar.
Mungkinkah naskah asli surat perintah
dari Presiden Soekarno ke Soeharto itu ditemukan? “Yang jelas kami terus
berupaya,” kata Kepala ANRI, M Asichin, di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).
Asichin menjelaskan
ANRI telah melakukan pencarian naskah asli Supersemar sejak tahun 2000
atau sejak reformasi membuka tabir kepalsuan surat, yang menjadi bahan
ajaran siswa-siswa pada masa Orde Baru.
“Terakhir kami wawancarai Joko Pekik dan
Rewang pada 2011,” kata Asichin tentang mantan dua anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI), partai yang dibubarkan Soeharto setelah
menerima Supersemar.
Namun, kata Asichin, pada wawancara Juni
dan Juli 2011 itu, Joko Pekik dan Rewang juga tidak tahu perihal surat
tersebut. “Mereka cuma mendengar saat itu soal Supersemar, soal ada
tidak ada, mereka tidak tahu,” ujar Asichin.
Dalam rangka mencari Supersemar, ANRI
juga pernah mewawancarai keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu
petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno
kepada Soeharto. Asichin mengatakan, klaim M Jusuf memiliki naskah asli
Supersemar tidak terbukti.
Kepada ANRI, Andi Heri, keponakan M Jusuf
yang saat itu menjabat Wakil Wali Kota Makassar mengatakan, “Keluarga
kami tidak menyimpan.” Wawancara itu dilakukan pada 31 Agustus 2005.
ANRI juga pernah mendatangi anak Jenderal
(Purn) AH Nasution, namun hasilnya juga sama, nihil. “Dia juga tidak
tahu,” kata Asichin. Secara pribadi, Asichin meyakini Supersemar asli
itu benar-benar ada. Soekarno sendiri pernah mengatakannya pada pidato
di HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1966.
“Pak Moerdiono juga pernah mengatakan
beliau melihat dan beliau yakin ada,” kata Asichin. Mungkinkah naskah
asli Supersemar ditemukan? Setidaknya keyakinan kepala ANRI bisa jadi
modal untuk mencari Supersemar yang asli, yang telah memberi dampak bagi
kehidupan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Penemu Supersemar Akan Diberi Penghargaan
Meski UU Kearsipan mengatur ancaman
pidana bagi penyembunyi arsip negara, hukuman untuk pemegang Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) nampaknya tidak terlalu ketat.
Bahkan, Arsip Negara Republik Indonesia (ANRI) menjanjikan penghargaan
bagi mereka yang mengembalikan surat sakti dari Soekarno ke Soeharto
itu.
“Ya peraturan kan bukan untuk dilanggar,”
ujar Kepala ANRI, M Asichin, di Jakarta, Sabtu (10/3). Aschin
menjelaskan di UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan juga mengatur
soal penghargaan bagi mereka yang memberikan arsip negara yang bernilai
sejarah tinggi, seperti Supersemar. “Kita akan gunakan cara-cara
persuasif,” ujarnya.
Seperti diketahui, ancaman pidana soal
kearsipan di era Soeharto sangat besar. Pasal 11 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan menyatakan
barangsiapa dengan sengaja memiliki arsip negara dengan melawan hukum,
maka akan dipenjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.
Namun, pada revisi terakhir UU itu, yakni
UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, aturan pidana soal
penyimpanan arsip negara sedikit berubah. Bagi yang memiliki arsip
negara secara melanggar hukum ia akan dibui maksimal lima tahun. Dan
bagi yang memusnahkan arsip tidak sesuai prosedur yang diatur akan
mendapat hukuman maksimal 10 tahun penjara.
Cari Supersemar, ANRI pernah temui Tutut dan Megawati
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)
terus berupaya mencari keberadaan naskah asli Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar). Dalam waktu dekat, lembaga itu akan mewawancari Siti
Hardiyanti (Tutut) Rukmana dan Megawati Soekarnoputri.
“Kita akan memasukan permohonan
wawancara,” kata Kepala ANRI, Asichin, di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).
Asichin menjelaskan, adalah penting untuk mencari informasi seputar
Supersemar kepada keluarga Soekarno dan Soeharto, sebagai pemberi dan
penerima surat.
“Kita akan tanya pernah lihat tidak (naskah asli Supersemar-red), apapun jawaban beliau akan kita arsipkan,” kata Asichin.
Tidak hanya kepada keluarga pemberi dan
penerima surat, ANRI juga akan mewawancarai tokoh-tokoh yang dekat
dengan konteks peristiwa 1966 itu. Dia menyebut nama Akbar Tandjung dan
Cosmas Batubara, pentolan gerakan mahasiswa tahun 1966. “Siapa tahu
mereka tahu,” ujarnya.
Dalam rangka mencari Supersemar, ANRI
juga pernah mewawancarai keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu
petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno
kepada Soeharto. Asichin mengatakan, klaim M Jusuf memiliki naskah asli
Supersemar tidak terbukti. (Reporter : Laurencius Simanjuntak/merdeka.com)
0 comments:
Post a Comment